Senin, 15 Agustus 2011

PAMERAN TUNGGAL SENI GRAFIS ‘RIMBA SENJAKALA’ WINARSO TAUFIK


Bentara Budaya Bali pada hari Jumat, tanggal 5 Agusutus 2011 membuka Pameran Tunggal Seni Grafis yang bertajuk Rimba Senjakala. Pameran ini merupakan sebuah bentuk representasi karya Winarso Taufik sebagai Peraih Penghargaan Pertama dalam Trienal Seni Grafis Indonesia III yang diselenggarakan oleh Bentara Budaya.  Pada Trienal 2009 tersebut, Winarso menghadirkan karya-karya seni yang segar dan sanggup menarik perhatian para Dewan Juri, yakni diwujudkan di dalam benda dwimatra pajang serta lembaran-lembaran kertas yang dikumpulkan menjadi buku.
Taufik menampilkan hasil pekerjaan cetakan dengan memadukan tiga teknik grafis sekaligus yakni : etsa, aquatint, dan drypoint. Ia juga menampilkan sejumlah induk cetakan plat aluminiumnya, menunjukkan asal gagasan tematisnya. Dikuratori oleh Hendro Wiyanto, pameran kali ini menampilkan 22 karya cukil kayu yang menjadi garapan terbaik Winarso Taufik.
Hendro Wiyanto mengemukakan,  Rimba Senjakala’ tentunya adalah metafora yang subtil, digunakan oleh Taufik untuk melukiskan simbolisme alam, kebinatangan, dan matinya kemanusiaan kita di era pasca-metafisika ini. Melalui metafora itu pula, Taufik mengangankan ‘perjumpaan sunyi’ kembali antara manusia dan alam. Yakni perjumpaan sublim yang tak sekadar memandang alam sebagai objek, tetapi juga sebagai makhluk ciptaan seperti sering tergambar dalam mitos.
Seniman kelahiran Kebumen, 7 November 1977 ini merupakan pria yang telah menempa pendidikan seni rupa di Sanggar Olah Seni Bandung dan Jurusan Seni Grafis ISI Yogyakarta. Winarso Taufik juga telah  turut serta dalam berbagai pameran seni rupa di berbagai kota di Nusantara.
Pameran ini secara resmi dibuka oleh Dr. Jean Couteau, seorang budayawan yang juga kritikus seni rupa, ditandai dengan pembukaan pintu ruang pameran, didampingi oleh Koordinator Bentara Budaya Bali, Bapak Warih Wisatsana serta Seniman Winarso Taufik.
Pameran untuk umum: 6-14 Agustus 2011, pukul 10.00-18.00

Sabtu, 06 Agustus 2011

SOCIAL ACTIVITY: Charity Work at Panti Asuhan Dharma Jati II Denpasar, Bali


Kamis, 16 Juni 2011

Anak muda yang tergabung dalam FORMATE (Formatur JOST The Ultimate Generation) mengadakan kegiatan bakti sosial ke Panti Asuhan Dharma Jati II. Setelah sebelumnya mengadakan perbincangan perihal lokasi tempat dan apa saja yang akan disumbangkan, anak-anak muda yang merupakan Alumni OSIS dan MPK SMAN 5 Denpasar Angkatan 2009/2010, sepakat untuk mengadakan kegiatan bakti sosial di Panti Asuhan Dharma Jati II. Lokasinya terletak di Jalan Trengguli, wilayah Denpasar, Bali. 

“Kegiatan ini merupakan ajang temu kawan-kawan lama, sekaligus sebagai bentuk kepedulian sosial anak muda kepada kawan-kawan yang kurang beruntung,” kata Agus Sugiarthawan, Ketua Formate.
Ketua Panitia acara, Pradnyanita Dewi, mengungkapkan bahwa kegiatan ini sesungguhnya merupakan ajang berbagi dengan sesama, setiap orang diminta untuk mendonasikan pakaian ataupun buku-buku yang layak untuk adik-adik di Panti Asuhan Dharma Jati II sebagai bentuk social awareness kepada mereka.

Selain menyumbangkan pakaian, buku, dan makanan, anak-anak yang tergabung dalam FORMATE juga mengisi acara dengan memberikan hiburan berupa games dan pertunjukan sulap. Anak-anak yang berada di panti asuhan tersebut sangat antusias dan bersemangat dalam mengikuti kegiatan itu. Di wajah mereka tersirat perasaan senang dan bergembira mendapatkan pengalaman yang baru.
Hal yang saya tulis kali ini, bukan bermaksud untuk memebesar-besarkan apa yang telah dilakukan oleh kawan kita di FORMATE, tetapi ini merupakan sesuatu yang saya ingin share kepada kawan-kawan lain. Meskipun saya yakin banyak anak muda yang telah melakukan hal yang sama di luar sana, tetapi untuk  kawan-kawan yang belum berbuat, sekarang lah waktunya untuk kita berbagi kepada sesama. Karena sesungguhnya BERBAGI itu INDAH.
Sekian, semoga bermakna untuk semua :)

Rabu, 03 Agustus 2011

Workshop Teater dari Black Rose Theater dan Teater Pictorial Bandung

Hari Minggu, tanggal 24 Juli 2011
 
Hari ini akan diadakan Workshop dan Pertunjukan Teater di Bentara Budaya Bali. Workshop ini diadakan atas  kerjasama Black Rose Theatre dan Teater Pictorial dari Bandung, serta Bentara Budaya Bali.
Kebetulan, aku dan kawan-kawan mendapatkan kesempatan baik menjadi Liaison Officer untuk acara tersebut. Kami berusaha untuk mendatangkan peserta workshop dari berbagai kalangan, mulai dari teater SMA, komunitas-komunitas, dan kelompok teater yang ada disekitar daerah Denpasar dan Gianyar.
Workshop tersebut diikuti oleh kawan-kawan dari berbagai sekolah maupun universitas termasuk aku dan teman-teman yang menjadi Liaison Officer.
Workshop berjalan menyenangkan, bahkan sangat mengasyikkan. Workshop dimulai dengan duduk melingkar di dalam ruang pameran BBB. Satu persatu memulai dengan perkenalan. Berdiri, menyebutkan nama, lalu membuat sebuah gerakan kecil yang dilanjutkan oleh teman selanjutnya, begitu seterusnya, gerakan itu semakin lama semakin besar, hingga ada peserta workshop yang sampai-sampai harus melompat, saking bersemangatnya.. hahaha.
Setelah itu dilanjutkan dengan simulasi stimulus-respon. Jadi, dalam teater, seorang aktor harus mampu merespon pemain lainnya. Dengan begitu, suasana pertunjukan akan menjadi semakin hidup.
Respon pun dibagi menjadi dua, ada menerima dan menolak (wah, seperti cinta saja, hahaha). Jika diterima, orang yang menerima harus meneruskan ke orang lain, tetapi jika ditolak, orang yang memberikan tadi harus mencari orang lain. Dalam sesi ini, diperlukan konsentrasi dan kemampuan eye contact ketika menerima ataupun mersespon orang lain.
Selanjutnya adalah permainan berpasangan. Salah satu orang harus menunjuk lawannya dengan ibu jari dan tugas dari lawaannya ialah mengikuti arah telunjuk itu kemanapun diarahkan dengan kedua fokus mata yang baik. Begitu selanjutnya bergantian.
Lalu permainan "binatang-binatangan" setiap peserta workhop diminta berperan menjadi seekor binatang, tetapi kemudian dalam waktu cepat, peserta dibagi menjadi dua kelompok dan setiap kelompok mesti menjadi seekor binatang. Dalam hal ini, mereka harus bekerja sama, ada yang menjadi kepala, tangan, badan, kaki, ataupun ekor. Nah proses menjadi satu tubuh itu selain memerlukan kerjasama, juga butuh empati dan konsentrasi.
Setelah itu, ditutup dengan olah pernapasan dan diskusi singkat mengenai kesan yang telah dialami peserta dalam workshop tadi.
KESIMPULANNYA, Workshop pendek ini bertujuan untuk mempelajari hal-hal mendasar dalam teater, seperti: stimulus- respon, konsentrasi, vokal, olah napas, olah rasa, kerjasama dan saling empati. Pada dasarnya sebuah workshop adalah sebuah cara bagaimana pemateri workshop memaparkan apa yang dia miliki dan dengan cara itu semua peserta workshop tumbuh bersama. Akhirnya beberapa materi workshop tidak sekedar berpengaruh pada proses mencipta teater tetapi juga sebagai simulasi bagi kehidupan keseharian. Seorang teatrawan tidak mungkin bermain baik jika ia tidak memiliki empati pada seluruh pendukung pentas lainnya.

Selasa, 02 Agustus 2011

New Regionalism in Bali Architecture by Popo Danes


Diskusi buku arsitektur ‘New Regionalism in Bali Architecture by Popo Danes’ karya Imelda Akmal berlangsung sangat hangat di Bentara Budaya Bali pada hari Minggu, tanggal 31 Juli 2011. Acara diskusi kali ini dihadiri oleh banyak tokoh arsitek,  budayawan, ahli seni rupa, dan kalangan anak muda. Dengan moderator Bapak Warih Wisatsana, diskusi kali ini menghadirkan tiga pembicara sebagai narasumber, yakni: Imelda Akmal, Popo Danes, dan Dr. Rumawan Salain.

Latar Belakang Pembuatan Buku
Penyusunan buku monograf ini merupakan salah satu impian Mbak Imelda sejak dulu. Karena sudah saatnya, kini arsitek-arsitek Indonesia memiliki sebuah monograf. Saat ini arsitek Indonesia masih jarang sekali menulis monograf, Popo Danes merupakan orang yang pertama di Indonesia menulis monograf.  Unutuk menulis monograf, diperlukan suatu kemauan dan konsistensi untuk commit dalam penyusunan buku.
Pembuatan buku ini dimulai dari tahun  2004. Jadi sudah terbilang 6 tahun lama pembuatannya. Di awal penyusunan buku ini, arsitek diminta untuk mengumpulkan karya yang akan ditulis dalam buku, lalu kemudian, dimulailah proses  seleksi, setelah seleksi, penulis memfoto karya rancangan satu persatu. Pemotretan adalah salah satu tahapan yang paling memakan waktu lama, karena properti ini bukan lagi milik arsitek setelah ia jadi. Jadi tentu saja harus izin dan koordinasi kepada pemiliknya, sementara Imelda dan tim berada di Jakarta. Jadi selama enam tahun, sudah tidak terhitung, berapa kali bolak-balik JKT-BALI. Setelah pemotretan, sebagai penulis, adalah waktunya untuk memahami dan menyerap kembali karya-karya yang sudah diseleksi, kemudian menggali ide-ide, atau pemikiran apa yang ingin dituangkan dari sebuah rancangan itu. Lalu penulis mencoba mencari suatu teori atau dasar materi penulisan yang bisa menceriminkan atau merefleksikan ide rancangan dari Pak Popo Danes ini. Buku yang dipakai sebagai dasar ialah buku Architectural Regionalism, yang merupakan sebuah kumpulan esai arsitektur dari pemuka arsitektur sampai orang awam. Buku ini menceritakan bahwa regionalism itu, pengertiannya berbeda-beda, tetapi ada benang merah yang bisa ditarik, yaitu tentang TEMPAT, IDENTITAS, MODERNITAS, dan TRADISI.  

Satu hal yang paling menonjol yang merupakan kekuatan karya dari Rancangan Popo Danes adalah kemauan yang merupakan kerendahan hatinya untuk mau membaur dengan alam. Penulis banyak sekali menemukan karya rancangan arsitektur kontemporer di Bali, ditempat yang bagus, mencoba menangkap alam yang bagus, pemandangan yang indah, tetapi hasilnya, bangunan itu mematikan alamnya dengan menjadi monumen, menjadi bangunan yang paling menonjol dari alamnya.